Seorang imam adalah pimpinan dalam shalat berjamaah, dimana tanpa imam tidak ada shalat jamaah. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam shalat sebenarnya amat sederhana, yaitu shalat yang dia lakukan itu hukumnya sah, setidaknya menurut makmum yang ikut shalat di belakangnya.
Maka syarat seorang imam pada hakikatnya sama dengan syarat untuk seorang yang melakukan shalat. Namun untuk lengkapnya, kami sampaikan juga tulisan para fuqaha muktamad tentang syarat-syarat imam
Maka syarat seorang imam pada hakikatnya sama dengan syarat untuk seorang yang melakukan shalat. Namun untuk lengkapnya, kami sampaikan juga tulisan para fuqaha muktamad tentang syarat-syarat imam
1. Muslim
Beragama Islam adalah syarat pertama seorang imam. Dan syarat ini sudah pasti ada, sebab jangankan menjadi imam, sekedar shalat saja pun seseorang disyaratkan harus beragama Islam. Namun boleh jadi pernah ada kasus di masa lalu, dimana ada orang menjadi imam shalat padahal bukan muslim, sehingga para ulama mencantumkan syarat keislaman sebagai syarat nomor satu sebagai seorang imam.
Namun kalau benar hal itu terjadi, mungkin sewaktu menjadi imam dirinya tidak mengaku, tetapi lama-lama ketahuan juga bahwa sebenarnya dia seorang non muslim, yang menjadi pertanyaan adalah apakah shalat para makmum itu sah?
Dalam hal ini mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa tidak perlu lagi makmum mengulangi shalatnya, karena ketidak-tahuan iu membuat shalat mereka sah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan mazhab AsySyafi’iyah mengatakan bahwa makmum berkewajiban untuk mengulangi shalatnya, sebab makmum telah lalai dari memeriksa keislaman sang imam.
2. Berakal
Seluruh ulama sepakat bahwa syarat yang juga harus terpenuhi bagi seorang imam harus berakal. Sehingga orang yang mabuk, gila, ayan dan sejenisnya, tidak sah untuk menjadi imam, karena shalatnya sendiri pun juga tidak sah.
3. Baligh
Seluruh fuqaha dari mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa seorang imam baru sah memimpin shalat fardhu bila dia telah berusia baligh. Dalam pandangan mereka, seorang anak yang baru sekedar mumayyiz tidak sah bila menjadi imam shalat fardhu. Beda antara mumayyiz dengan baligh adalah bahwa baligh itu sudah mimpi dan keluar mani. Sedangkan mumayyiz secara biologis memang belum keluar mani, namun secara akal dan kesadaran sudah paham dan mengerti, dia bisa membedakan mana baik dan mana buruk.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
“Janganlah kamu majukan (jadikan imam) anak-anak kecil di antara kalian.” (HR. Ad-Dailami).
Shalat seorang anak yang belum baligh jatuhnya menjadi sunnah, meski pun dia melakukan shalat 5 waktu. Dalam pandangan mereka, orang yang melakukan shalat wajib tidak boleh bermakmum di belakang orang yang shalat sunnah. Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa anak yang sudah mumayyiz meski belum baligh sudah sah bila menjadi imam shalat fardhu maupun shalat sunnah dengan makmum orang dewasa.
Dasarnya adalah hadits bahwa Amru bin Salamah menjadi imam ketika masih berusia 6 atau 7 tahun.
“Dari Amru bin Salamat radhiyallahuanhu bahwa dirinya menjadi imam atas suatu kaum di masa Rasulullah SAW ketika masih berusia enam atau tujuh tahun.” (HR. Al-Bukhari)
Hal yang sama juga terjadi pada diri Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhu, yang ketika masih kecil sudah mumayyiz tapi belum baligh, sudah menjadi imam shalat bagi kaumnya. Namun demikian, tetap saja mazhab ini lewat Al-Buwaithy mengutamakan imam yang sudah baligh dari pada yang baru mumayyiz, meski yang baru mumayyiz ini barangkali lebih fasih bacaannya.
4. Laki-laki Menjadi Imam Buat Perempuan
Tanpa pengecualian, seluruh fuqaha sepakat bahwa seorang perempuan hanya boleh menjadi imam sesama perempuan saja, sedangkan bila mengimami makmum laki-laki, hukumnya tidak sah. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
“Janganlah seorang wanita menjadi imam buat laki—laki.” (HR. Ibnu Majah)
“Posisikan para wanita di belakang sebagaimana Allah SWT memposisikan mereka di belakang.” (HR. Abdurrazzaq)
Sedangkan bila seorang wanita mengimami jamaah yang semuanya wanita, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah membolehkan sepenuhnya. Dasarnya adalah izin yang Rasulullah SAW berikan kepada Ummu Waraqah kala mengimami shalat fardhu berjamaah dengan makmum yang semuanya terdiri dari wanita.
“Dari Ummu Waraqah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW mengizinkannyua menjadi imam bagi wanita anggota keluarganya.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Namun mazhab meski membolehkan tetapi mazhab Al-Hanafiyah masih memakruhkan imam perempuan, meski semua jamaahnya perempuan. Dasarnya karena menurut pandangan mereka, wanita adalah orang yang tidak bisa terlepas dari sifat naqsh (kekurangan). Sebagaimana mereka tidak disunnahkan untuk melantunkan adzan dan iqamah, maka mereka juga tidak disunnahkan untuk menjadi imam, meski dengan sesama jamaah wanita.
Sedangkan mazhab Al-Malikiyah tegas-tegas menolak perempuan menjadi imam, meski semua jamaahnya wanita, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah.
5. Mampu Membaca Al-Quran
Syarat mampu membaca Al-Quran disini maksudnya adalah mampu melafadzkan ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem, setidak-tidaknya bacaan surat Al-Fatihah yang menjadi rukun dalam shalat pada tiap rakaatnya.
Hal ini mengingat bahwa para ulama banyak mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah makmum ditanggung oleh imam. Maka kalau bacaan imamnya bermasalah, tentu saja shalat berjamaah itu menjadi terkena imbasnya.
Maka makruh hukumnya orang yang terbata-bata dalam melafadzkan Al-Quran untuk menjadi imam, seperti fa’fa’, yaitu orang yang selalu mengulang-ulang huruf fa’, juga tam-tam, yaitu mereka yang sering mengulang-ulang huruf ta’.
6. Tidak Berpenyakit
Yang dimaksud tidak berpenyakit disini adalah orang imam tidak boleh berpenyakit yang sekiranya membatalkan shalatnya, seperti orang yang sakit kencing, dimana dia tidak bisa menahan kencingnya dan keluar dengan sendirinya. Orang Arab mengistilahkan dengan penyakit salasul-baul. Begitu juga orang yang selalu kentut dan tidak bisa menahannya, tidak boleh menjadi imam.
Termasuk juga orang yang luka dan darahnya mengalir terus tidak berhenti sehingga membasahi tubuh, pakaian atau tempat shalat. Orang-orang seperti ini meski selalu basah dengan najis, tidak gugur kewajibannya untuk menjalankan shalat fardhu. Namun mengingat dia punya masalah dengan najis dan shalatnya bernilai darurat, maka tidak layak bila dia menjadi imam.
7. Mampu Mengerjakan Semua Rukun Shalat
Seorang imam dituntut untuk bisa mengerjakan semua rukun shalat secara lengkap dan sempurna. Sebab rukun shalat ada tiang-tiang penyangga bangunan, dimana bila salah satu tiang penyangga utama itu runtuh, maka bangunan itu pun akan runtuh juga. Dan kedudukan seseorang yang shalat sebagai imam mengharuskannya mampu mengerjakan semua rukun shalat secara lengkap tanpa kurang satu pun.
Berbeda dengan makmum yang dibolehkan kekurangan satu atau dua rukun, selama masih bisa ditanggung imam. Misalnya membaca surat Al-Fatihah yang merupakan rukun shalat, bila imam sudah membacanya, maka makmum yang masbuk dan mendapati imam sedang dalam posisi ruku’ dianggap telah gugur kewajibannya untuk membaca surat AlFatihah. Makmum dihitung sudah mendapatkan satu rakaat manakala masih sempat ruku’ sejenak bersama imam.
8. Tidak Kehilangan Syarat Sah Shalat
Seorang imam dituntut untuk tidak kekurangan satu pun dari syarat sah shalat. Sebagaimana sudah dijelaskan pada baba sebelumnya, diantara syarat sah shalat adalah:
Tahu Waktu Shalat Sudah Masuk
Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Suci Badan, Pakaian dan Tempat
Menutup Aurat
Menghadap ke Kiblat
Bila seorang imam kekurangan satu saja dari syarat sah shalat di atas, maka dia tdak sah menjadi imam.
Misalnya seorang imam tidak bisa mengangkat hadats, karena tidak ada air dan tanah sekaligus, maka meski wajib tetap shalat, namun tidak perlu shalat berjamaah. Karena imamnya tidak memenuhi syarat sah shalat.
9. Niat
Apakah untuk menjadi imam shalat disyaratkan berniat menjadi imam sejak awal shalat jamaah dilakukan?
Umumnya para ulama seperti Asy-syafi’iyah dan AlMalikiyah tidak mensyaratkan niat untuk menjadi imam sejak awal shalat. Sehingga seorang yang shalat sejak awal niatnya shalat munfarid (sendirian), lalu ada orang lain mengikutinya dari belakang, hukumnya sah dan boleh.
Sebaliknya, dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, hukumnya tidak boleh, kecuali imam dan makmum sama-sama shalat sunnah. Sedangkan bila niatnya shalat wajib, tidak sah hukumnya untuk bermakmum kepada seseorang yang sedang shalat sendiri dan tidak berniat menjadi imam.
Sumber:
http://iqf.or.id/2017/02/syaratmenjadiimam/
Beragama Islam adalah syarat pertama seorang imam. Dan syarat ini sudah pasti ada, sebab jangankan menjadi imam, sekedar shalat saja pun seseorang disyaratkan harus beragama Islam. Namun boleh jadi pernah ada kasus di masa lalu, dimana ada orang menjadi imam shalat padahal bukan muslim, sehingga para ulama mencantumkan syarat keislaman sebagai syarat nomor satu sebagai seorang imam.
Namun kalau benar hal itu terjadi, mungkin sewaktu menjadi imam dirinya tidak mengaku, tetapi lama-lama ketahuan juga bahwa sebenarnya dia seorang non muslim, yang menjadi pertanyaan adalah apakah shalat para makmum itu sah?
Dalam hal ini mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa tidak perlu lagi makmum mengulangi shalatnya, karena ketidak-tahuan iu membuat shalat mereka sah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan mazhab AsySyafi’iyah mengatakan bahwa makmum berkewajiban untuk mengulangi shalatnya, sebab makmum telah lalai dari memeriksa keislaman sang imam.
2. Berakal
Seluruh ulama sepakat bahwa syarat yang juga harus terpenuhi bagi seorang imam harus berakal. Sehingga orang yang mabuk, gila, ayan dan sejenisnya, tidak sah untuk menjadi imam, karena shalatnya sendiri pun juga tidak sah.
3. Baligh
Seluruh fuqaha dari mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa seorang imam baru sah memimpin shalat fardhu bila dia telah berusia baligh. Dalam pandangan mereka, seorang anak yang baru sekedar mumayyiz tidak sah bila menjadi imam shalat fardhu. Beda antara mumayyiz dengan baligh adalah bahwa baligh itu sudah mimpi dan keluar mani. Sedangkan mumayyiz secara biologis memang belum keluar mani, namun secara akal dan kesadaran sudah paham dan mengerti, dia bisa membedakan mana baik dan mana buruk.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
“Janganlah kamu majukan (jadikan imam) anak-anak kecil di antara kalian.” (HR. Ad-Dailami).
Shalat seorang anak yang belum baligh jatuhnya menjadi sunnah, meski pun dia melakukan shalat 5 waktu. Dalam pandangan mereka, orang yang melakukan shalat wajib tidak boleh bermakmum di belakang orang yang shalat sunnah. Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa anak yang sudah mumayyiz meski belum baligh sudah sah bila menjadi imam shalat fardhu maupun shalat sunnah dengan makmum orang dewasa.
Dasarnya adalah hadits bahwa Amru bin Salamah menjadi imam ketika masih berusia 6 atau 7 tahun.
“Dari Amru bin Salamat radhiyallahuanhu bahwa dirinya menjadi imam atas suatu kaum di masa Rasulullah SAW ketika masih berusia enam atau tujuh tahun.” (HR. Al-Bukhari)
Hal yang sama juga terjadi pada diri Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhu, yang ketika masih kecil sudah mumayyiz tapi belum baligh, sudah menjadi imam shalat bagi kaumnya. Namun demikian, tetap saja mazhab ini lewat Al-Buwaithy mengutamakan imam yang sudah baligh dari pada yang baru mumayyiz, meski yang baru mumayyiz ini barangkali lebih fasih bacaannya.
4. Laki-laki Menjadi Imam Buat Perempuan
Tanpa pengecualian, seluruh fuqaha sepakat bahwa seorang perempuan hanya boleh menjadi imam sesama perempuan saja, sedangkan bila mengimami makmum laki-laki, hukumnya tidak sah. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
“Janganlah seorang wanita menjadi imam buat laki—laki.” (HR. Ibnu Majah)
“Posisikan para wanita di belakang sebagaimana Allah SWT memposisikan mereka di belakang.” (HR. Abdurrazzaq)
Sedangkan bila seorang wanita mengimami jamaah yang semuanya wanita, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah membolehkan sepenuhnya. Dasarnya adalah izin yang Rasulullah SAW berikan kepada Ummu Waraqah kala mengimami shalat fardhu berjamaah dengan makmum yang semuanya terdiri dari wanita.
“Dari Ummu Waraqah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW mengizinkannyua menjadi imam bagi wanita anggota keluarganya.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Namun mazhab meski membolehkan tetapi mazhab Al-Hanafiyah masih memakruhkan imam perempuan, meski semua jamaahnya perempuan. Dasarnya karena menurut pandangan mereka, wanita adalah orang yang tidak bisa terlepas dari sifat naqsh (kekurangan). Sebagaimana mereka tidak disunnahkan untuk melantunkan adzan dan iqamah, maka mereka juga tidak disunnahkan untuk menjadi imam, meski dengan sesama jamaah wanita.
Sedangkan mazhab Al-Malikiyah tegas-tegas menolak perempuan menjadi imam, meski semua jamaahnya wanita, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah.
5. Mampu Membaca Al-Quran
Syarat mampu membaca Al-Quran disini maksudnya adalah mampu melafadzkan ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem, setidak-tidaknya bacaan surat Al-Fatihah yang menjadi rukun dalam shalat pada tiap rakaatnya.
Hal ini mengingat bahwa para ulama banyak mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah makmum ditanggung oleh imam. Maka kalau bacaan imamnya bermasalah, tentu saja shalat berjamaah itu menjadi terkena imbasnya.
Maka makruh hukumnya orang yang terbata-bata dalam melafadzkan Al-Quran untuk menjadi imam, seperti fa’fa’, yaitu orang yang selalu mengulang-ulang huruf fa’, juga tam-tam, yaitu mereka yang sering mengulang-ulang huruf ta’.
6. Tidak Berpenyakit
Yang dimaksud tidak berpenyakit disini adalah orang imam tidak boleh berpenyakit yang sekiranya membatalkan shalatnya, seperti orang yang sakit kencing, dimana dia tidak bisa menahan kencingnya dan keluar dengan sendirinya. Orang Arab mengistilahkan dengan penyakit salasul-baul. Begitu juga orang yang selalu kentut dan tidak bisa menahannya, tidak boleh menjadi imam.
Termasuk juga orang yang luka dan darahnya mengalir terus tidak berhenti sehingga membasahi tubuh, pakaian atau tempat shalat. Orang-orang seperti ini meski selalu basah dengan najis, tidak gugur kewajibannya untuk menjalankan shalat fardhu. Namun mengingat dia punya masalah dengan najis dan shalatnya bernilai darurat, maka tidak layak bila dia menjadi imam.
7. Mampu Mengerjakan Semua Rukun Shalat
Seorang imam dituntut untuk bisa mengerjakan semua rukun shalat secara lengkap dan sempurna. Sebab rukun shalat ada tiang-tiang penyangga bangunan, dimana bila salah satu tiang penyangga utama itu runtuh, maka bangunan itu pun akan runtuh juga. Dan kedudukan seseorang yang shalat sebagai imam mengharuskannya mampu mengerjakan semua rukun shalat secara lengkap tanpa kurang satu pun.
Berbeda dengan makmum yang dibolehkan kekurangan satu atau dua rukun, selama masih bisa ditanggung imam. Misalnya membaca surat Al-Fatihah yang merupakan rukun shalat, bila imam sudah membacanya, maka makmum yang masbuk dan mendapati imam sedang dalam posisi ruku’ dianggap telah gugur kewajibannya untuk membaca surat AlFatihah. Makmum dihitung sudah mendapatkan satu rakaat manakala masih sempat ruku’ sejenak bersama imam.
8. Tidak Kehilangan Syarat Sah Shalat
Seorang imam dituntut untuk tidak kekurangan satu pun dari syarat sah shalat. Sebagaimana sudah dijelaskan pada baba sebelumnya, diantara syarat sah shalat adalah:
Tahu Waktu Shalat Sudah Masuk
Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Suci Badan, Pakaian dan Tempat
Menutup Aurat
Menghadap ke Kiblat
Bila seorang imam kekurangan satu saja dari syarat sah shalat di atas, maka dia tdak sah menjadi imam.
Misalnya seorang imam tidak bisa mengangkat hadats, karena tidak ada air dan tanah sekaligus, maka meski wajib tetap shalat, namun tidak perlu shalat berjamaah. Karena imamnya tidak memenuhi syarat sah shalat.
9. Niat
Apakah untuk menjadi imam shalat disyaratkan berniat menjadi imam sejak awal shalat jamaah dilakukan?
Umumnya para ulama seperti Asy-syafi’iyah dan AlMalikiyah tidak mensyaratkan niat untuk menjadi imam sejak awal shalat. Sehingga seorang yang shalat sejak awal niatnya shalat munfarid (sendirian), lalu ada orang lain mengikutinya dari belakang, hukumnya sah dan boleh.
Sebaliknya, dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, hukumnya tidak boleh, kecuali imam dan makmum sama-sama shalat sunnah. Sedangkan bila niatnya shalat wajib, tidak sah hukumnya untuk bermakmum kepada seseorang yang sedang shalat sendiri dan tidak berniat menjadi imam.
Sumber:
http://iqf.or.id/2017/02/syaratmenjadiimam/
No comments:
Post a Comment