Wednesday, September 27, 2017

Asatidz Dan Asatidzah


Sekedar catatan kecil peringatan maulid Nabi Muhammad di Masjid An-Nur Rawadenok.

Mc dan beberapa orang yang menyampaikan sambutan, setiap kali memberi penghormatan kepada para ustadz mereka berkata : yang saya hormati para asatidz dan asatidzah. Termasuk pak ustadz bang Salim yang menyampaikan ceramah sebelum ustadz Subki al Bughuri.

Agak tergelitik mendengar 'salah kaprah' yang terlanjur menyebar.
Yang mereka maksud asatidz adalah ustadz ustadz laki laki. Dan yang mereka maksud asatidzah mungkin adalah ustadz ustadz perempuan. Padahal, lafadz asatidz dan asatidzah dua duanya untuk ustadz ustadz laki laki. Jadi yang kena penghormatan baru ustadz laki laki. Sedangkan ibu ibu ustadzah belum kena.
Srharusnya penghormatan yang benar adalah : yang saya hormati para asatidz dan ustadzat.
Lafadz ustadz adalah bentuk tunggal. Bentuk pluralnya menggunakan jama taksir yaitu asaatiidz dan asaatidzah. Lafadz asaatidzah adalah yang paling sering digunakan. Karena itu ustdz Subki Al Bughuri menyampaikan penghormatannya dengan benar. Katanya : yang mulia para asaatidzah dan ustadzaat. Ustadz Subki menurut saya memang ustadz yang 'ada isinya'.
Sedangkan jamak mudzakkar salimnya, yaitu ustadzuun atau ustaadziin jarang digunakan. Imam Muslim pernah berkata kepada imam Bukhari gurunya : anta ustadzul ustadzin.
Untuk perempuan perempuan (ustadzah), digunakan jamak muannas salim yaitu ustaadzaat.
Jadi kesimpulannya :
Untuk paj ustadz gunakanlah asaatidz atau asaatidzah atau ustadzun
Untuk ibu ustadzah gunakanlah ustaadzaat.
Jadi penghormatannya harusnya begini. Yang saya hormati para asaatidzah dan para ustaadzaat.

https://blog-subhan.blogspot.co.id/2016/01/asatidz-dan-asatidzah.html

Sunday, September 17, 2017

ADAB IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro

Seorang muslim yang baik, berusaha untuk menyempurnakan setiap amalnya. Karena hal itu sebagai bukti keimanannya. Maka shalat harus menjadi perhatian utamanya.

Dapat dibayangkan, bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat para makmun bertakbir sambil mengangkat tangannya secara serempak; ketika imam mengucapkan amin terdengar keserasian dalam mengikutinya.

Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian” [1]

Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, adad-adab imam.
Kedua, adab-adab makmum.

Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]

Akan tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung pertentangan.
Pertama : Menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam.
Kedua : Sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih, berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan pemiliknya –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah-.

Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan dari jalannya dan dari pintunya. Secara tidak langsung, -para imam seperti ini- menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, -sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin- sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-syarat menjadi imam. Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”. [3]

Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut ini.

Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
1). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.

2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.

3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya” [5]

4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

ثََلاثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا : رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهمْ لََهُ كَارِهُوْنَ…

“Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya”[6]

Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya”.

Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini -berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7]

Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [8]

Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] . Na`uzubillah.

Ketiga : Mentakhfif Shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan[10]. Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ إِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ

“Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya” [11]

Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau n dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.[12]

Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.

Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:

لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian” [13]

Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman c melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]

Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[15]

Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah n ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]

Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man Radhiyallahu ‘anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya;

1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus (urusan)nya.”[17]

2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.

3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الله َوَ مَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلوُْنَ الصُّفُوْفَ

“Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung shaf” [18 [19]

Kelima : Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallm:

لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوْا اْلأَحْلاَمَ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ وَإِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتُ اْلأَسْوَاقِ

“Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar” [20].

Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu :

لاَ تُصَلِّ إِلاََّ إِلَى سُتْرَةٍ ، وَ لاََ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ القَرِيْنَ

“Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin.” [22]

Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]

Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”

Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]

Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau Sujudnya, Karena (Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]

Kedelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.

Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allah, pada mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun.
Wallahu `a`lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. HR Muslim no. 436.
[2]. Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
[3]. Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249.
[4]. Ibid, halaman 1/151.
[5]. HR Muslim 2/133. Lihat Irwa` Ghalil 2/256-257.
[6]. HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,“Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c . Berkata Shiddiq Hasan Khan,“Dalam bab ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
[7]. Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
[8]. Lihat Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[9]. Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at keempat pada shalat ruba`iah (empat raka`at). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh. Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang makmun menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar.
[10]. Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
[11]. HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[12]. Shalatul Jama’ah, halaman 166-167.
[13]. HR Muslim no. 436.
[14]. Lihat Jami` Tirmidzi, 1/439; Muwaththa`, 1/173 dan Al Umm, 1/233.
[15]. HR Abu Ya`la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31.
[16]. HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207.
[17]. HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495.
[18]. HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih.
[19]. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
[20]. HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
[21]. Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83.
[22]. HR Muslim no. 260 dan yang lain.
[23]. Fathul Bari, 1/572.
[24]. HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
[25]. Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254.
[26]. “Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159)



Sumber: https://almanhaj.or.id/2486-adab-adab-imam-dalam-shalat-berjamaah.html

SYARAT DAN KRITERIA MENJADI IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Untuk menjadi imam shalat tidak menunggu ditunjuk dan juga bukan dengan cara berinisiatif, melainkan dengan pengetahuan yang jelas dan pasti tentang syarat dan kriteria yang lebih utama untuk menjadi imam.

Secara umum, orang yang harus dipilih jadi imam shalat adalah orang yang paling faqih dalam urusan agama terutama dalam masalah shalat.

Selain itu para ulama juga menyebutkan yang paling banyak hafalan Al-Qur’an nya, juga yang paling baik bacaannya dan lainnya.

Para ulama telah berhasil membuat peringkat yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat. Misalnya dalam madzhab Al-Hanafiyah disebutkan peringkat itu yaitu:

1. Orang Yang Paling Baik Bacaannya

Di antara syarat yang paling utama untuk menjadi imam dalam shalat berjama’ah adalah orang yang paling baik bacaannya atau disebut dengan aqra’uhum. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau:

# Dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang menjadi imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Quran Al-Karim). Bila mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Quran, maka yang paling banyak pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)

# Dari Abu Masna Al-Badri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jama’ah di imami oleh yang lebih pandai membaca Kitab Allah. Jika sama-sama pandai dalam membaca Kitab Allah, maka oleh yang lebih alim tentang sunnah. Jika sama-sama pula, maka oleh yang lebih tua.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan aqra’uhum adalah yang paling paham, yakni yang paling paham dalam masalah agama, terutama dalam masalah shalat.

2. Orang Yang Paling Wara’

Lalu peringkat berikutnya adalah orang yang paling wara’, yaitu orang yang paling menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam masalah syubhat

# Dari Abi Martsad Al-ghanawi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam (seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil kalian kepada Tuhan kalian.” (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim).

# Dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jadikanlah orang-orang yang terpilih di antara kamu sebagai imam; karena mereka adalah orang-orang perantaraan kamu dengan Tuhanmu.” (HR. Ad-Daruqutni).

# “Apabila seseorang menjadi imam …, padahal di belakangnya ada orang-orang yang lebih utama daripadanya, maka semua mereka dalam kerendahan terus menerus.” (HR. Ahmad)

3. Orang Yang Lebih Tua Usianya

Peringkat berikutnya adalah yang lebih tua usianya. Dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih tua umumnya lebih khusyu` dalam shalatnya. Selain itu memang ada dasar hadits berikut:

# Hendaklah yang lebih tua diantara kalian berdua yang menjadi imam (HR. Imam yang enam).

Apabila derajat mereka semua sama, maka boleh dilakukan undian.
Intinya kita dapat ambil bahwa syarat yang paling utama dari imam itu adalah yang paling baik bacaannya dan paling paham dalam hukum-hukum shalat.

4. Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

a) Pembesar Negara & Tuan Rumah

Imam bagi pembesar-pembesar negara (apabila shalat bersama-sama mereka) & tuan rumah (kecuali jika ia idzinkan yang lain sebagai imam).

# Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah seseorang mengimami seseorang di dalam rumah tangga orang yang di imami itu dan di dalam pemerintahannya.” (HR. Muslim, hadits shahih)

b) Kaum Yang Tidak Menyukai Kita

Janganlah mengimami suatu kaum yang tidak menyukai kita.

# Dari Abu Amir Ibnu Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah engkau mengimami suatu kaum, sedangkan mereka membencimu.” (HR. Abu Dawud).

Sumber:
http://sihono.staff.uii.ac.id/2013/08/27/syarat-dan-kriteria-menjadi-imam-dalam-shalat-berjama%E2%80%99ah/

Dimana Seharusnya Posisi Wanita Saat Menjadi Imam?


Bagaimana jika tiba waktu shalat dan banyak perempuan yang ingin melakukan jamaah, tapi tidak ada imam laki-laki. Maka wanitalah yang mengimami makmun wanita. Apabila seorang wanita mengimami seorang makmum wanita, maka makmum wanita berdiri di samping kanan dari imam wanita. Posisi ini sama persis dengan aturan shaf shalat bagi dua orang laki-laik yang melakukan shalat berjamaah.

Posisi imam wanita ketika mengimami jamaah wanita adalah di tengah-tengah shaf wanita yang pertama, sejajar dengan shaf tersebut, tidak menjorok ke depan. Hal ini berdasarkan pada atsar sahabat yang datang dari Aisyah dan Ummu Salamah dimana beliau berdua pernah mengimami wanita dengan posisi di tengah sejajar dengan shaf pertama. Maka hendaklah wanita muslimah meniru apa yang mereka lakukan karena sebaik-baik generasi adalah generasi sahabat. Apalagi tidak diketahui ada sahabat yang lain yang menyelisihi.


Ini Posisi yang benar saat wanita menjadi Imam

1. Atsar Aisyah radhiyallahu ‘anha:

عن ريطة الحنفية أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة
“Dari Raithah Al-Hanafiyyah bahwasanya Aisyah mengimami para wanita dan beliau berdiri diantara mereka dalam shalat fardhu.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dlm Al-Mushannaf 3/141, dan Al-Baihaqy di dalam As-Sunan Al-Kubra 3/131)

2. Atsar Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:

عن حجيرة عن أم سلمة رضي الله عنها أنها أمتهن فقامت وسطا

“Dari Hujairah bahwasanya Ummu Salamah mengimami para wanita, maka beliau berdiri di tengah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dlm Al-Mushannaf 2/514 no: 4986 dan Abdurrazzaq dlm Al-Mushannaf 3/140)

Berkata Ibnu Juraij (wafat thn 150 H):

“Seorang wanita mengimami para wanita tanpa berada di depan mereka, akan tetapi berdiri sejajar dengan mereka baik dalam shalat fardhu atau sunnah.” (Lihat Mushannaf Abdurrazzaq 3/140)

Berkata Ma’mar bin Rasyid (wafat tahun 154 H):
“Seorang wanita mengimami wanita lain di bulan Ramadhan, berdiri bersama mereka di dalam shaf.” (Lihat Mushannaf Abdurrazzaq 3/141)

Dan inilah yang menjadi fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz, beliau berkata:

وإمامتهن تقف وسطهن في الصف الأول
“Dan imam wanita mereka (para wanita) berdiri di tengah-tengah mereka pada shaf yang pertama.” (Majmu Fatawa Bin Baz 12/77)

Demikian pula Al-Lajnah Ad-Daimah, mereka berkata:

وتكون إمامتهن في وسطهن في الصف الأول
“Dan imam mereka (para wanita) di tengah-tengah mereka di shaf yang pertama.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-daimah 8/213).

Sebagian ulama menyebutkan bahwa diantara hikmah imam wanita berada di tengah shaf pertama adalah lebih tertutup dan tidak terlihat. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa, Mushtafa Al-Adawy 1/350).Wallahu A'lam. Semoga menambah pengetahuan kita semua.

Sumber: konsultasisyariah.com/wajibbaca

Apa Jadinya Jika Anda Ditunjuk Menjadi Imam Shalat & Tidak Faham Tajwid?

Alkisah, ketika waktu maghrib tiba dan jamaah sudah cukup banyak berada di Masjid Rest Area jalan tol, beberapa orang berinisiatif untuk mengerjakan shalat berjamaah (memang seharusnya seperti itu), nah,ketika iqamat sudah dikumandangkan maka para jamaah yang tidak saling kenal itu saling mempersilahkan untuk menjadi Imam, maka pilihan jatuh kepada seorang yang tampaknya "alim" nampak bajunya juga "islami" plus - maaf – berjenggot (meskipun yang berjenggot dan fasih baca Al Qur'an juga buaanyak, karena memang "berjenggot" tidak menjamin seseorang itu alim dan fasih membaca Al Qur'an) . "Allahu Akbar" Takbiratul Ihram sang Imam terdengar , serentak makmum bertakbiratul Ihram, " Alhamdulillahirabbul 'alamiin"….(nampaknya Imam ini tidak bermadzhab syafii, kemungkinan bermadzhab Maliki (madzhab ini berpendapat bacaan basmalah bukan bagian dari Al fatihah) atau Hanafi atau Hanbali (dua madzhab ini berpendapat bahwa Basmalah adalah bagian dari Al fatihah, namun bacaannya dengan suara hampir "sirr" tak terdengar)..bacaan barikutnya : Arrahmanirrahim (dengan membaca Ra (seperti kata –roti-) dibaca Ra (seperti kata –rajin-), …Maliki yaumiddin (dibaca oleh si Imam yaumid(dh)in seperti kata –kuda-) terus baca ..ketemu "shirathal ladzina … ( dibaca lazzina…), ….dan seterusnya hingga shalat selesai .

Dalam Kitab Al Majmu III/250-251 dan Tuhfah al Muhtaj II/37 disebutkan : Syarat sah membaca Al Fatihah adalah harus sesuai dengan kaidah Ilmu Tajwid serta seluruh hurufnya (142 huruf) dan tasydidnya (14 tasydid). Apabila terdapat satu saja huruf atau tasydid yang tidak terbaca atau tertukar dengan huruf lain seperti: ذ dibaca ز atau س dibaca ص atau sebaliknya, maka bacaan Al Fatihahnya tidak sah, dan berarti Shalatnya tidak sah juga karena dianggap tidak membaca Al fatihah…naudzubillah

Padahal Rasulullah bersabda dalam hadits dari Ubadah bin Shamit:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah. (HR. Al-Bukhari)

Ibadah yang didalamnya ada Rukun atau Wajib untuk membaca ayat atau surat Al Qur’an, seperti Ibadah Shalat, -memang- boleh jadi menjadi tidak sah/batal. Apalagi, bila kesalahan membaca tersebut dilakukan oleh Imam Shalat misalnya. Oleh sebab itu sudah seharusnya mulai sekarang kita - mau tidak mau- kita belajar Alquran; dari mulai cara membaca, memahami dan sekaligus mengamalkan isi dan kandungannya (Al Qur’an).

Al Qur’an hendaknya dibaca sesuai dengan tata cara membacanya (jelas atau samar, dengung, qalqalah, panjang pendeknya huruf, kapan waqaf/berhenti, kapan terus dan sebagainya) (

Rasulullah bersabda :


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ بَشَّرَاهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْهُ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ) أحمد ، ومسلم ، وابن ماجه ، والحاكم(

Dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه sesungguhnya Abu Bakar, Umar menyaksikan bahwa Rasulullah bersabda : Barangsiapa ingin membaca Al Qur’an dengan merdu sebagaimana ketika diturunkan, hendaklah ia membacanya menurut Bacaan Ibni Ummi Abdi ( Abdullah bin Mas’ud) (Hadits riwayat Ahmad, Muslim, Ibn Majah dan Hakim – Hadits ini Shahih menurut Syarat Shahihain)

Imam Jalalluddin As Suyuty dalam Kitab “ الإتقان في علوم القرآن “, setelah mengutip hadits nabi Muhammad dari Abdullah bin Mas’ud r.a tersebut di atas, beliau mengatakan :

“ Bila Al Qur’an dibaca tidak dengan Ilmu Tajwid akan tejadi kesalahan, baik kesalahan yang jelas (Jaly) atau samar (khafy)

Jadi, meskipun sudah menguasai Bahasa Arab, tetap dilarang membaca Al Qur’an tanpa mengikuti kaidah ilmu tajwid. Disamping itu, hendaknya dibaca dengan suara yang sebagus-bagusnya, tidak asal bunyi dan tidak asal membaca seperti orang berbicara.

Dan sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk jasmani kita atau rupa dan baju kita tetapi Allah akan melihat kepada hati kita (terjemahan hadits Shahih Muslim)..iya..Hati adalah "isi" kualitas dan performance ke –Alim-an sesorang, bukan "baju" atau "model penampilan" yang seakan-akan dia itu 'alim (berpengetahuan,) ini tidak berbeda dengan 'dummy" handphone, sepertinya handphone beneran (karena, size, berat dan bentuknya sama persis) tapi ternyata cuman "mainan". Dan ..mari kita perbaiki diri kita di bulan suci ini, dengan Ta'lim Al Qur'an, perbaiki "makhraj" pelajari Tajwid dan bacalah Al qur'an menurut hak nya, bacalah Al Qur'an menurut standarnya, mudah-mudahan Al qur'an yang kita baca itu menjadi syafaat penolong kita nanti, amin ya rabbal alamin.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/satu-hari-satu-ayat-quran/apa-jadinya-jika-anda-ditunjuk-menjadi-imam-shalat-tidak-faham-tajwid-/426262014650/

SEORANG IMAM SEHARUSNYA MEMPERBAGUS BACAANNYA DAN MEMAHAMI ILMU TAJWID DAN QIRO’AH

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan: Ada sebuah perkara yang tersebar di sebagian masyarakat, yaitu mereka berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain yang cukup jauh dari rumah-rumah mereka dalam rangka mencari suara imam yang bagus, bagaimana pendapat Anda?

Jawaban:

Sepantasnya bagi seorang imam untuk memperbagus suaranya dalam membaca Al Qur’an dan memerhatikan kaidah tajwid qiroah sesuai yang dituntunkan. Dia melakukannya dalam rangka mengharap pahala dari Allah, bukan karena riya dan sum’ah.

Dan selayaknya, dia membaca Al Qur’an dengan khusyu dan menghadirkan hatinya, agar dia bisa mengambil manfaat dari bacaannya dan juga orang yang mendengar bisa mengambil manfaat.

Sepantasnya bagi setiap jamaah masjid untuk memakmurkan masjid dengan berbagai ketaatan dan shalat di dalamnya.

Tidak selayaknya dia membuang-buang waktu dengan berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lain hanya dalam rangka mencari suara imam yang bagus. Terlebih lagi bagi para wanita, dikarenakan dengan perginya mereka ke tempat yang jauh dari rumahnya ada perkara yang berbahaya padanya.

Dan yang dituntut bagi mereka adalah shalat di rumah mereka, dan kalaupun mereka ingin pergi ke masjid, maka pergilah ke masjid yang terdekat dari rumah dalam rangka meminimalisir perkara negatif yang akan terjadi. Dan perkara ini (berpindah-pindah masjid) adalah sebuah fenomena yang kurang baik, dikarenakan akan menyebabkan sebagian masjid menjadi terlantar dan juga bisa menimbulkan riya dan juga padanya ada takalluf (memberat-beratkan diri) yang tidak disyariatkan.

Thursday, September 14, 2017

Imam Shalat Seorang Perokok Berat, Sahkah?

Bolehkah yang menjadi imam shalat adalah seorang perokok? Apakah sah menjadi imam ketika itu?

Perlu dipahami mengenai istilah fasik. Fasik adalah orang yang melakukan dosa besar walau tidak terus menerus dan belum bertaubat, atau orang yang terus menerus melakukan dosa kecil. Inilah namanya fasik. Diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Fathu dzi Al-Jalali wa Al-Ikram, 4: 472.

Apakah orang fasik seperti itu boleh jadi imam?

Sebagian ulama berpandangan bahwa orang fasik tidaklah boleh menjadi imam. Di antara alasannya hadits berikut ini. Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَلاَ لاَ تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلاً وَلاَ يَؤُمَّنَّ أَعْرَابِىٌّ مُهَاجِرًا وَلاَ يَؤُمَّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا

“Janganlah wanita mengimami pria, jangan pula seorang arab gunung mengimami kaum mujhajirin, jangan pula orang fajir (yang suka maksiat) mengimami orang beriman.” (HR. Ibnu Majah no. 1081. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan). Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram juga menyatakan sanad hadits ini lemah.

Berdasarkan hadits di atas, para ulama ada yang berpendapat bahwa orang fasik (yang gemar maksiat) tidaklah sah jadi imam. Ulama yang menyatakan seperti itu sampai memasukkan orang yang fasik seperti para perokok, orang yang mencukur jenggot, orang yang suka mengghibah dan melakukan namimah (menukil berita dari satu pihak kepada pihak lain dengan tujuan untuk merusak hubungan). Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad.

Namun jumhur atau mayoritas ulama menganggap tetap sahnya orang fasik menjadi imam. Alasannya berikut ini:

Pertama: Ada suatu kaedah yang disebutkan oleh Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumthi’. Kaedahnya adalah,

كُلُّ مَنْ صَحَّتْ صَلاَتُهُ صَحَّتْ إِمَامَتُهُ

“Setiap orang yang sah shalatnya (ketika sendirian), maka sah shalatnya ketika menjadi imam” (Syarh Al-Mumti’, 4: 217, 227, 236, dan 238).

Maksud kaedah adalah setiap orang yang sah shalatnya ketika sendirian, maka sah shalatnya ketika menjadi imam dan diikuti oleh yang lain, begitu pula ketika makmum tidak mengetahui kondisi imam karena tidak ada dalil yang membedakan antara shalat sendiri dan ketika menjadi imam. Dan menjadi imam shalat merupakan masalah turunan dari masalah shalat ketika sendirian. Sehingga jika ada yang membedakan antara kedua keadaan ini, maka ia tidak tepat dalam menetapkan perbedaan.

Sebaliknya, orang yang tidak sah shalat sendirian, maka tidak sah pula ia menjadi imam. Misalnya dalam kasus ini adalah shalatnya orang kafir, murtad, majnun (orang gila) dan semacamnya.

Kedua: Kalau aturan orang yang fasik tidak boleh jadi imam, tentu tidak ada imam yang sah. Karena sulit kita lihat di zaman yang selamat dari dosa ghibah. Padahal ghibah (menggunjing) termasuk dosa besar. Siapa juga yang selamat dari dosa namimah, menipu dan mengelabui orang lain? Yang selamat sangat sedikit sekali.

Ketiga: Para sahabat radhiyallahu ‘anhum masih tetap shalat di belakang imam yang zalim. Mereka ada yang shalat di belakang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, padahal imam tersebut adalah pelaku dosa besar tanpa diragukan lagi. Ia termasuk orang fasik.

Keempat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ada pemimpin yang biasa mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya. Ketika itu, tetap kita diperintahkan shalat tepat waktu, lalu bermakmum lagi pada imam tersebut dan dinilai sebagai amalan sunnah. Ini tanda bahwa mengikuti imam yang fasik seperti itu tetap dibolehkan.

Empat alasan di atas disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Fathu dzi Al-Jalali wa Al-Ikram, 4: 474-475.

Baca artikel tentang bahaya rokok dalam Islam:

Bagaimana hukum shalat di belakang seorang perokok? Jawabannya, boleh dan tetap sah. Wallahu a’lam bish shawwab.

Sumber : https://rumaysho.com/11020-imam-shalat-seorang-perokok-berat-sahkah.html

Syarat – Syarat Imam Shalat

Syarat Utama menjadi Imam Shalot seperti disebutkan dalam kitab Fiqh Al Islami Wa karya Syaikh Wahbah Al Zuhaili antara lain, ” Islam, Berakal, Baligh, Laki – Laki, Suci dari Hadats, Bagus Bacaan dan Rukunnya, Bukan Makmum, Sehat dan belum tua serta Lidahnya Fasih dapat mengucapakan Lafal Arab dg Tepat dan jelas.

Sabda Nabi Muhammad Saw , ” Jika ada 3 (Tiga) Orang, maka hendaklah memilih salah seorang di antara mereka menjadi imam dan yg paling berhak diantara mereka ialah yg paling bagus bacaannya (HR. Muslim) ”.
Yang Boleh Menjadi Imam Shalat

” Laki – Laki makmum kepada laki – laki, Perempuan makmum kpd Laki – Laki, Perempuan makmum kpd Perempuan, Banci makmum kepada Laki – Laki dan perempuan makmum kpd banci ”. dan yang tidak boleh menjadi Imam ialah, ” Laki – laki makmum kpd Banci, Laki – Laki makmum kpd Perempuan dan Banci makmum kepada Banci. Kemudian Perlu kalian pahami disini bahwa untuk Pengertian Banci menurut para ulama ialah seseorang yg tidak diketahui apakah dia laki – laki atau perempuan karena dia memiliki dua alat kelamin antara alat kelamin pria dan alat kelamin wanita yg sama – sama berfungsi dg baik, dlm hal ini telah dijelaskan didlm As Syarh Al Mumthi yg menyatakan,

Sifat – Sifat Imam Shalat di Islam

Mempunyai Hafalan Al Qur’an yg cukup dan Bacaan yg bagus, Mengetahui Sunah – Sunah nabi Muhammad Saw, mempunyai Bacaan yang baik, Memiliki Aqidah yg benar terlebih jika dia juga seorang Khatib dan Memiliki kemampuan untuk berkhutbah yg beratsar pd pendengar.

Itulah penjelasan yg dapat kami berikan kepada anda terkait Pengertian dan Syarat Imam Shalat dan jika anda ingin atau berminat menjadi Imam maka hendaknya perbaiki akhlak anda dan yang paling penting perbaiki cara membaca Lafal bahasa Arab anda sehingga menjadi Fasih dlm membaca Bacaan Shalat dan Ayat – Ayat kitab suci Al Qur’an.

Sumber:

http://rukun-islam.com/syarat-menjadi-imam-shalat/

Syarat Menjadi Imam Shalat

Seorang imam adalah pimpinan dalam shalat berjamaah, dimana tanpa imam tidak ada shalat jamaah. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam shalat sebenarnya amat sederhana, yaitu shalat yang dia lakukan itu hukumnya sah, setidaknya menurut makmum yang ikut shalat di belakangnya.

Maka syarat seorang imam pada hakikatnya sama dengan syarat untuk seorang yang melakukan shalat. Namun untuk lengkapnya, kami sampaikan juga tulisan para fuqaha muktamad tentang syarat-syarat imam

1. Muslim

Beragama Islam adalah syarat pertama seorang imam. Dan syarat ini sudah pasti ada, sebab jangankan menjadi imam, sekedar shalat saja pun seseorang disyaratkan harus beragama Islam. Namun boleh jadi pernah ada kasus di masa lalu, dimana ada orang menjadi imam shalat padahal bukan muslim, sehingga para ulama mencantumkan syarat keislaman sebagai syarat nomor satu sebagai seorang imam.

Namun kalau benar hal itu terjadi, mungkin sewaktu menjadi imam dirinya tidak mengaku, tetapi lama-lama ketahuan juga bahwa sebenarnya dia seorang non muslim, yang menjadi pertanyaan adalah apakah shalat para makmum itu sah?

Dalam hal ini mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa tidak perlu lagi makmum mengulangi shalatnya, karena ketidak-tahuan iu membuat shalat mereka sah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan mazhab AsySyafi’iyah mengatakan bahwa makmum berkewajiban untuk mengulangi shalatnya, sebab makmum telah lalai dari memeriksa keislaman sang imam.
2. Berakal

Seluruh ulama sepakat bahwa syarat yang juga harus terpenuhi bagi seorang imam harus berakal. Sehingga orang yang mabuk, gila, ayan dan sejenisnya, tidak sah untuk menjadi imam, karena shalatnya sendiri pun juga tidak sah.

3. Baligh

Seluruh fuqaha dari mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa seorang imam baru sah memimpin shalat fardhu bila dia telah berusia baligh. Dalam pandangan mereka, seorang anak yang baru sekedar mumayyiz tidak sah bila menjadi imam shalat fardhu. Beda antara mumayyiz dengan baligh adalah bahwa baligh itu sudah mimpi dan keluar mani. Sedangkan mumayyiz secara biologis memang belum keluar mani, namun secara akal dan kesadaran sudah paham dan mengerti, dia bisa membedakan mana baik dan mana buruk.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:

“Janganlah kamu majukan (jadikan imam) anak-anak kecil di antara kalian.” (HR. Ad-Dailami).

Shalat seorang anak yang belum baligh jatuhnya menjadi sunnah, meski pun dia melakukan shalat 5 waktu. Dalam pandangan mereka, orang yang melakukan shalat wajib tidak boleh bermakmum di belakang orang yang shalat sunnah. Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa anak yang sudah mumayyiz meski belum baligh sudah sah bila menjadi imam shalat fardhu maupun shalat sunnah dengan makmum orang dewasa.

Dasarnya adalah hadits bahwa Amru bin Salamah menjadi imam ketika masih berusia 6 atau 7 tahun.

“Dari Amru bin Salamat radhiyallahuanhu bahwa dirinya menjadi imam atas suatu kaum di masa Rasulullah SAW ketika masih berusia enam atau tujuh tahun.” (HR. Al-Bukhari)

Hal yang sama juga terjadi pada diri Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhu, yang ketika masih kecil sudah mumayyiz tapi belum baligh, sudah menjadi imam shalat bagi kaumnya. Namun demikian, tetap saja mazhab ini lewat Al-Buwaithy mengutamakan imam yang sudah baligh dari pada yang baru mumayyiz, meski yang baru mumayyiz ini barangkali lebih fasih bacaannya.

4. Laki-laki Menjadi Imam Buat Perempuan

Tanpa pengecualian, seluruh fuqaha sepakat bahwa seorang perempuan hanya boleh menjadi imam sesama perempuan saja, sedangkan bila mengimami makmum laki-laki, hukumnya tidak sah. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:

“Janganlah seorang wanita menjadi imam buat laki—laki.” (HR. Ibnu Majah)

“Posisikan para wanita di belakang sebagaimana Allah SWT memposisikan mereka di belakang.” (HR. Abdurrazzaq)

Sedangkan bila seorang wanita mengimami jamaah yang semuanya wanita, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah membolehkan sepenuhnya. Dasarnya adalah izin yang Rasulullah SAW berikan kepada Ummu Waraqah kala mengimami shalat fardhu berjamaah dengan makmum yang semuanya terdiri dari wanita.

“Dari Ummu Waraqah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW mengizinkannyua menjadi imam bagi wanita anggota keluarganya.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Namun mazhab meski membolehkan tetapi mazhab Al-Hanafiyah masih memakruhkan imam perempuan, meski semua jamaahnya perempuan. Dasarnya karena menurut pandangan mereka, wanita adalah orang yang tidak bisa terlepas dari sifat naqsh (kekurangan). Sebagaimana mereka tidak disunnahkan untuk melantunkan adzan dan iqamah, maka mereka juga tidak disunnahkan untuk menjadi imam, meski dengan sesama jamaah wanita.

Sedangkan mazhab Al-Malikiyah tegas-tegas menolak perempuan menjadi imam, meski semua jamaahnya wanita, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah.

5. Mampu Membaca Al-Quran

Syarat mampu membaca Al-Quran disini maksudnya adalah mampu melafadzkan ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem, setidak-tidaknya bacaan surat Al-Fatihah yang menjadi rukun dalam shalat pada tiap rakaatnya.

Hal ini mengingat bahwa para ulama banyak mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah makmum ditanggung oleh imam. Maka kalau bacaan imamnya bermasalah, tentu saja shalat berjamaah itu menjadi terkena imbasnya.

Maka makruh hukumnya orang yang terbata-bata dalam melafadzkan Al-Quran untuk menjadi imam, seperti fa’fa’, yaitu orang yang selalu mengulang-ulang huruf fa’, juga tam-tam, yaitu mereka yang sering mengulang-ulang huruf ta’.

6. Tidak Berpenyakit

Yang dimaksud tidak berpenyakit disini adalah orang imam tidak boleh berpenyakit yang sekiranya membatalkan shalatnya, seperti orang yang sakit kencing, dimana dia tidak bisa menahan kencingnya dan keluar dengan sendirinya. Orang Arab mengistilahkan dengan penyakit salasul-baul. Begitu juga orang yang selalu kentut dan tidak bisa menahannya, tidak boleh menjadi imam.

Termasuk juga orang yang luka dan darahnya mengalir terus tidak berhenti sehingga membasahi tubuh, pakaian atau tempat shalat. Orang-orang seperti ini meski selalu basah dengan najis, tidak gugur kewajibannya untuk menjalankan shalat fardhu. Namun mengingat dia punya masalah dengan najis dan shalatnya bernilai darurat, maka tidak layak bila dia menjadi imam.

7. Mampu Mengerjakan Semua Rukun Shalat

Seorang imam dituntut untuk bisa mengerjakan semua rukun shalat secara lengkap dan sempurna. Sebab rukun shalat ada tiang-tiang penyangga bangunan, dimana bila salah satu tiang penyangga utama itu runtuh, maka bangunan itu pun akan runtuh juga. Dan kedudukan seseorang yang shalat sebagai imam mengharuskannya mampu mengerjakan semua rukun shalat secara lengkap tanpa kurang satu pun.

Berbeda dengan makmum yang dibolehkan kekurangan satu atau dua rukun, selama masih bisa ditanggung imam. Misalnya membaca surat Al-Fatihah yang merupakan rukun shalat, bila imam sudah membacanya, maka makmum yang masbuk dan mendapati imam sedang dalam posisi ruku’ dianggap telah gugur kewajibannya untuk membaca surat AlFatihah. Makmum dihitung sudah mendapatkan satu rakaat manakala masih sempat ruku’ sejenak bersama imam.

8. Tidak Kehilangan Syarat Sah Shalat

Seorang imam dituntut untuk tidak kekurangan satu pun dari syarat sah shalat. Sebagaimana sudah dijelaskan pada baba sebelumnya, diantara syarat sah shalat adalah:

Tahu Waktu Shalat Sudah Masuk
Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Suci Badan, Pakaian dan Tempat
Menutup Aurat
Menghadap ke Kiblat

Bila seorang imam kekurangan satu saja dari syarat sah shalat di atas, maka dia tdak sah menjadi imam.

Misalnya seorang imam tidak bisa mengangkat hadats, karena tidak ada air dan tanah sekaligus, maka meski wajib tetap shalat, namun tidak perlu shalat berjamaah. Karena imamnya tidak memenuhi syarat sah shalat.

9. Niat

Apakah untuk menjadi imam shalat disyaratkan berniat menjadi imam sejak awal shalat jamaah dilakukan?

Umumnya para ulama seperti Asy-syafi’iyah dan AlMalikiyah tidak mensyaratkan niat untuk menjadi imam sejak awal shalat. Sehingga seorang yang shalat sejak awal niatnya shalat munfarid (sendirian), lalu ada orang lain mengikutinya dari belakang, hukumnya sah dan boleh.

Sebaliknya, dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, hukumnya tidak boleh, kecuali imam dan makmum sama-sama shalat sunnah. Sedangkan bila niatnya shalat wajib, tidak sah hukumnya untuk bermakmum kepada seseorang yang sedang shalat sendiri dan tidak berniat menjadi imam.
Sumber:
http://iqf.or.id/2017/02/syaratmenjadiimam/

Monday, September 11, 2017

Siapakah yang berhak menjadi imam dalam shalat berjama'ah?

Yang berhak menjadi imam bagi suatu kaum dalam shalat berjama'ah menurut sunnah Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling ahli dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan paling mengerti hukum-hukum fiqih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Abu Mas'ud Al-Badri:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ وَأَكْثَرُهُمْ قِرَاءَةً. فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً . فَإِنْ كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ سَوًاءً فَأَكْبَرُهُمْ سَنًّا .

"Yang boleh mengimami kaum itu adalah orang yang paling pandai di antara mereka dalam memahami kitab Allah (Al Qur'an) dan yang paling banyak bacaannya di antara mereka. Jika pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an sama, maka yang paling dahulu di antara mereka hijrahnya ( yang paling dahulu taatnya kepada agama). Jika hijrah (ketaatan) mereka sama, maka yang paling tua umurnya di antara mereka".

Sahabat Nabi saw. yang paling banyak memahami kitab Al-Qur'an adalah orang yang paling banyak pengetahuannya terhadap fiqih. Karena mereka membaca ayat Al-Qur'an dan mempelajari hukum-hukumnya. Oleh karena shalat itu memerlukan keabsahan kepada bacaan Al-Qur'an dan fiqih, maka orang yang ahli membaca Al-Qur'an dan ahli fiqih harus didahuuan daripada selainnya.

Jika salah seorang di antara para ma'mum lebih pandai membaca Al-Qur'an dan lebih pandai dalam fiqih, maka dia didahulukan dari pada lainnya.

Jika salah seorang di antara para ma'mum pandai dalam bidang fiqih, sedang yang lain lebih pandai membaca Al-Qur'an, maka yang lebih pandai fiqih adalah lebih utama. Karena barangkali dalam shalat tersebut terjadi sesuatu kejadian yang memerlukan kepada ijtihad.

Jika ada dua orang yang sama pandainya dalam bidang fiqih dan bacaan Al-Qur'an, dalam hal ini ada dua pendapat:
Imam Asy-Syafi'i dalam qaul qodim berpendapat: "Yang didahulukan adalah orang yang lebih mulia kedudukannya dalam masyarakat, lalu orang yang lebih dahulu hijrahnya, kemudian orang yang lebih tua umurnya; dan inilah pendapat yang lebih kuat.

Orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didahulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya adalah berdasarkan hadits dari Abu Mas'ud Al-Badri.

Tidak ada perbedaan pendapat mengenai orang yang mulia kedudukannya di masyarakat lebih didahulukan dari pada orang yang lebih dahulu hijrahnya.

Jika orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didaulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya, maka mendahulukan orang yang lebih mulia keduduknya di masyarakat daripada orang yang lebih dahulu hijrahnya adalah lebih utama.
Dalam qaul jadid Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang lebih tua umurnya harus didahulukan, kemudian orang yang lebih mulia kedudukannya di masyarakat, kemudian orang yang lebih dahulu hijrahnya. Hal ini berdasarkan riwayat Malik bin Huwairits bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي وَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ .

"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku melakukan shalat. Hendaklah salah seorang dari kamu melakukan adzan untuk kamu sekalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kamu mengimami kamu sekalian".

Mendahulukan orang yang umurnya lebih tua, adalah karena orang yang lebih tua itu lebih khusyu' dalam shalat, sehingga lebih utama.

Umur yang berhak untuk didahulukan menjadi imam adalah umur dalam masuk agama Islam. Adapun jika seseorang menjadi tua dalam kekafiran, kemudian masuk Islam, maka tidak didahulukan atas pemuda yang tumbuh dalam Islam.

Orang mulia yang berhak untuk didahulukan adalah apabila orang tersebut dari golongan Quraisy.

Yang dimaksud dengan hijrah di sini adalah dari orang yang berhijrah dari Makkah kepada Rasulullah saw., atau dari anak cucu mereka.

Apabila ada dua orang yang sama dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka sebagian dari para ulama' terdahulu berpendapat bahwa yang didahulukan adalah orang yang paling baik di antara mereka. Di antara para pendukung madzhab Syafi'i ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling baik tersebut adalah orang yang paling baik rupanya.

Di antara mereka ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling di sini adalah orang yang paling baik sebutannya di masyarakat.

Jika orang-orang yang berhak menjadi imam yang telah disebutkan di atas berkumpul dengan pemilik rumah, maka pemilik rumah adalah lebih utama menjadi imam daripada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:

لاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلاَ سُلْطَانِهِ وَلاَ يَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.

"Janganlah sekali-kali seseorang laki-laki mengimami orang laki-laki lain pada keluarga laki-laki lain tersebut dan janganlah seseorang laki-laki duduk pada tempat duduk yang khusus bagi laki-laki lain, kecuali dengan izinnya".

Jika datang pemilik rumah dan orang yang menyewa rumah tersebut, maka penyewa rumah lebih utama untuk menjadi imam. Karena penyewa rumah lebih berhak mempergunakan manfaat-manfaat dari rumah tersebut.

Jika datang pemilik budak belian dan budak belian dalam sebuah rumah yang dibangunkan oleh majikan (pemilik budak) untuk tempat tinggal budak tersebut, maka sang majikan lebih utama untuk menjadi imam. Karena majikan tersebut adalah pemilik rumah tersebut pada hakikatnya, bukan si budak belian.

Jika berkumpul selain majikan dan budak dalam rumah budak tersebut, maka si budak lebih utama menjadi imam. Karena budak tersebut lebih berhak dalam mengatur rumah tersebut.

Jika orang-orang tersebut di atas berkumpul di masjid bersama imam masjid, maka imam masjid tersebut adalah lebih utama menjadi imam. Karena telah diriwayatkan bahwa Abdullah Umar mempunyai budak yang shalat dalam masjid, kemudian Ibnu Umar datang dan budaknya meminta beliau berdiri di depan sebagai imam. Ibnu Umar ra berkata: "Engkau lebih berhak menjadi imam di masjidmu!"

Jika imam dari orang-orang muslim berkumpul dengan pemilik rumah atau dengan imam masjid, maka imam dari orang-orang muslim tersebut adalah lebih utama, karena kekuasaannya adalah bersifat umum dan karena dia adalah pemimpin sedang orang-orang tersebut adalah orang-orang yang dipimpin; sehingga mendahulukan pemimpin adalah lebih utama.

Jika berkumpul orang musafir dan orang mukim, maka orang yang mukim adalah lebih utama. Karena sesungguhnya jiika orang mukim menjadi imam, maka seluruhnya menyempurnakan shalat sehingga mereka tidak berbeda. Dan jika orang musafir yang menjadi imam, maka mereka berbeda-beda dalam jumlah rakaat.

Jika orang merdeka berkumpul dengan budak belian, maka orang merdeka lebih utama. Karena menjadi imam itu adalah tempat kesempurnaan, sedangkan orang merdeka itu adalah yang lebih sempurna.

Jika orang yang adil dan orang yang fasik berkumpul, maka orang yang adil adalah lebih diutamakan, karena dia lebih utama.

Jika anak zina berkumpul dengan lainnya, maka lainnya adalah lebih utama. Sayyidina Umar ra. dan Mujahid menganggap makruh anak zina menjadi imam, sehingga selain anak zina adalah lebih utama dari pada anak zina.

Jika berkumpul orang yang dapat melihat dengan orang yang buta, maka menurut ketentuan nas dalam hal menjadi imam adalah bahwa kedua orang tesebut sama. Sebab orang yang buta itu mempunyai kelebihan karena dia tidak melihat hal-hal yang dapat melengahkannya. Sedang orang yang dapat melihat juga memiliki kelebihan, yaitu dapat menjauhkan diri dari najis.

Abu Ishaq Al-Maruzi berpendapat bahwa orang yang buta lebih utama. Sedangkan menurut Abu Ishaq As-Syairozi orang yang dapat melihat adalah lebih utama. Karena dia dapat menjauhi barang najis yang dapat merusak shalat. Sedang orang yang buta dapat meninggalkan memandang kepada hal-hal yang dapat melengahkannya; dan hal tersebut tidak merusak shalat.

Sumber:
http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/menuju_kesempurnaan_shalat/03.single

Asatidz Dan Asatidzah

Sekedar catatan kecil peringatan maulid Nabi Muhammad di Masjid An-Nur Rawadenok. Mc dan beberapa orang yang menyampaikan sambutan, setiap ...